Ravin
by : anisa maryati
10210874
Bab.1
“Ka Vani….ada mas Damar tuk diluar”
“Suruh masuk de’sebentar lagi mendidih”
Aku segera
berlari menemui mas Damar. Mas Damar adalah teman kakak ku, kak Vani, aku
bsendiri bernama Aliya Angelica, tapi biasa dipanggil Lia. Sewaktu kecil
keluarga kami mengalami Broken home dan
aku memutuskan untuk tinggal bersama kakak dan nenek. Lima tahun silam nenek meninggalkan kami
untuk selamanya.
“Mas Damar mana de’”
Aku hanya singkat menjawab
“diruang tamu”. Beberapa menit berlalu, kak vani kembali ke dapur melanjutkan
masakannnya.
“De’hari Sabtu, teman-teman mas Damar mau ke rumah”
“Ngapain kak”
“Kita mau ngadain reunian SMP”
Aku hanya
menganggukan kepala dan hanya menjawab “Iya kak”.
Malam
Minggu pun tiba, Kak Vani dan teman-temannya sedang asyik ngobrol di teras
rumah. Aku teringat pada nenek yang selalu mengajarkan kami bagaimana cara
sopan santun terhadap tamu. Bergegas aku ke dapur membuat minuman dan
menyiapkan makanan yang telah ka Vani buat, ka Vani memang pandai sekali
membuat kue dan rasanya pun enak. Aku pun segera mengantarkannya ke depan.
“Ka’ini makanannya”
“Makasih ya de”
Tanpa
sengaja aku melihat seseorang yang belum pernah aku kenal sebelumnya. Sosok
seorang pria berkulit putih, hidung mancung dengan kacamata yang menempel
dihidungnya dan mata yang terlihat sedikit merapat. Aku semakin penasaran dan
bertanya dalam hati “Siapakah Lelaki tampan itu ?”. Sepertinya kak Vani tidak
pernah memiliki teman yang seperti dia.
Beberapa
jam kemudian, satu per satu teman kak Vani menghilang. Aku segera merapikan
gelas-gelas dan tak sabar ingin mengulas tentang pria tampan tadi.
“Kak, aku boleh Tanya gak ?”
“Tanya apa de’?”
“Cowok yang duduk sebelah mas Damar siapa sih ? kayaknya aku
baru ngeliat”
“Sebelah mas Damar ? Kak Ryan ?”
“Bukan, kalau kak Ryan aku udah tau gak penting buat
ditanya, yang itu loh kak”
“Oooh yang pake kemeja coklat susu ya ?”
“Iya bener, siapa sih kak ?”
“Emang kenapa sayang ? Kayaknya penasaran gitu ?”
“Kak serius nih siapa ?”
“Namanya kak Ravin, temannya mas Damar,tetangga baru RT.04 !”
“Mas Damar dong, jauh gak dari rumah mas Damar ?”
“Duh tau deh yang udah gede’ ! Rumahnya dibelakang rumah
kita, sebelahan sama mas Damar”
“Ah yang bener kak ? Deket dong ?”
“Yaudah sana
cuci gelas-gelasnya.”
Bab.2
Keesokan
harinya, tepat jam sepuluh, bel rumah terdengar nyaring berdering. Aku segera
berlari dan membuka pintu. Aku melihat sosok seorang pangeran tampan berdiri di
depan pinti ku, Astagaaa ……
“Lia, ngelamun aja. Kak vani mana ?”
“Hah ? kak Vani, itu..itu..ke..lagi pergi.”
“Kamu kenapa sih, kayaknya grogi ngeliat mas Damar, bikin
minum sana”
Aku dan mas
Damar sudah seperti kakak beradik. Ya sama seperti aku dan kak Vani. Karena mas
Damar teman kak Vani dari SD.
“Mas, sini deh” Aku menarik tangan mas Damar ke dapur.
“Kenapa sih ? kamu aneh deh.”
“Itu temen mas Damar ya ?”
“Ehm..mas Damar tau, dia lagi jomblo tuh !”
“Hah, yakin kak ?”
“Dasar anak kecil” Tangan mas Damar meraih kepalaku, kata
orang pertanda kasih sayang.
“Enak aja aku anak kecil, umur aku kan udah 16 tahun, bentar
lagi juga 17 tahun”
“Iya sayang…tumben biasanya kamu cuek ngeliat orang, ngomong
sama mas Damar aja jarang apalagi sama kakak kamu. Kok ini ? waaaah ada yang
ane nih !”
“Mas Damar ngomong apaan sih ? Mas..Mas Damar kan udah kayak
kakak aku, mas Damar mau bantuin aku kan ?”
“Bantuin apaan adikku ?”
“Kenalin aku sama kak Ravin dong”
Secara
spontan mas Damar berteriak “Raaviiiiiiiiiiiin” Aku segera membungkam mulut mas
Damar. Mas Damar gak bisa diajak kompromi tapi selain mas Damar siapa lagi yang
bisa bantuin aku. Sekejap mas Damar meningglkan aku dan aku hanya mengintip
dari balik tembok, pembatas ruang keluarga dan dapur. Tiba-tiba ….
“Liaaaaaaa, sini deh !”
Aku segera berlari menghampiri
mas Damar dan membawa dua gelas berisi sirup berwarna orange.
“Kenapa kak ?”
“Katanya mau kenalan sama kak Ravin, sini lah”
Dalam hati
aku menahan kesal dan rasa malu. Mas Damar ceplas-ceplos. Gerak-gerik ku hancur
gak karuan.
“Hye…ade’a Vani ya nama kamu siapa ?”
“Lia kak, temenya mas Damar ya ?”
Kami pun berjabat tangan kak
Ravin tersenyum ramah dan menatap aku dalam-dalam, tetapi mas Damar kembali
mengganggu perkenalan kami “Yailah, sok malu-malu udah langsung aja” Sambil
menunggu kedatangan Kak Vani, kami berbincang-bincang dan bercerita tentang
pengalaman masing-masing. Bercerita hobby, ya Tuhan….ternyata hobby ku dengan
kak Ravin sama. Kami suka menulis kata-kata sandi Cina. Walaupun aku belum
sepenuhnya bisa lancar menulis dan memahami sandi Cina. Tapi kak Ravin jago
banget. Selain itu, kak Ravin jago banget main alat musik apalagi gitar. Aku
segera mengambil gitar dan kak Ravin mencoba memainkannya. Astaga….lantunan
musik dan suara khasnya selalu terngiang di telinga aku. Oya satu lagi, lagu
faforit kami sama yaitu ‘The Rain-Tolong aku’ walaupun lagu lama tapi lagu itu
mempunyai arti yang sangat penting dan lirik lagunya sangat menyentuh hati,
yaitu ‘Tak pernah bisa melupakan seseorang yang pernah singgah di hatinya’. “Ya
Tuhan….kenapa banyak sekali persamaan antara kami ?”
“Assalamualaikum…..”
Tersentak
aku kaget dan segera berdiri membukakan pintu. Yah kak Vani udah dateng.
Berarti waktu aku tersita untuk bersama kak Ravin.
“Eh..ada tamu”
“Kita udah nuggu lama tau Van. Loe kemana aja sih ?”
“Sorry ya, tadi gue ke makam Grandma dulu”
“Yaudah Damar, lagsung aja”
“Ravin sama Lia bisa keluar dulu kan ?”
Aku segera
pergi dari persinggahan ku sebelumnya, kak Ravin pun mengikuti jejak ku. Kami
ketaman belakang sambil bernyanyi dengan gitar sebagai pengiringnya. Tak hanya
itu, kak Ravin juga mengajari aku tentang sandi Cina. Perasaan ku saat berada
di dekat kak Ravin, nyaman sekali. Aku juga ngerasa ada sesuatu yang berbeda
pada kak Ravin. Dua puluh menit tak terasa bersama ka Ravin, Tiba-tiba ….
“Ravin, pulang yuk”
Suara mas
Damar lagi.. ahhgghh mas Damar mengganggu aku. Aku ngedumel dalam hati.
Bab.3
Tak terasa
2 minggu sudah, aku mengenal kak Ravin, kami selalu bertukeran sandi-sandi
Cina, kak Ravin membuat puisi, bercerita lewat kata sandi. Tanpa sepengetahuan
kak Vani dan mas Damar, aku memberanikan diri menulis sandi Cina untuk kak
Ravin, yang isinya :
“Dear kak Ravi
Maaf yah kak sebelumnya, aku gak tau harus bilang
apa dan mulai dari mana. Aku gak bisa bohongin peraaasan aku terus. Sebenernya
aku malu untuk ngomong gini. Terserah kakak
mau menilai aku kayak gimana. Yang jelas
udah lama bangat aku memendam perasaan ini. Semenjak pertemuan kita yang kedua.
Tepatnya aku juga lupa kapan, aku semakin suka sama kakak sewaktu aku tau
begitu banyak persamaan di hati kita. Maaf ya kak aku terlalu berlebihan, tapi
ini perasaan yang jujur dari hari aku. Memang terlalu cepat dan gak pantas aku
ngmong begini ke kakak. Tapi… Plist ya kak jawab surat aku ini Satu lagi, aku
mohon mas Damar dan kak Vani jangan sampai tau semua ini. Thanks before.”
LIA
Setelah surat ini nyampai ditangan kak Ravin, kak
Ravin langsung kerumah dan menemui ku secara langsung.
“Lia maksud surat
kamu apa ?”
“Maaf kak, aku terlalu lancang untuk ngomong semua ini. Tapi
aku juga gak bisa terus mendam perasaan aku ini.”
Ka Ravin hanya terdiam dan
tatapan matanya seperti orang kebingungan.
“Kak, kenapa ? aku salah ?”
“Mau kamu apa ?”
“Pasti kakak tau maksud aku ngomong gini”
“Tapii kan
Li…kita baru kenal, emang kamu udah bisa mengenal sifat-sifat aku ?”
“Semua itu kan
bisa kita pelajari disaat kita udah saling miliki, aku gak maksa kakak harus
menjawab iya. Yang penting kakak harus tau tentang perasaan aku ini”
“Aku..aku..takut aja, kamu kecewa sama sifat aku, aku gak
bisa jawab ini sekarang Li”
“Yaudah gak apa-apa, aku tunggu jawaban kakak”
“Kasih aku waktu 3 hari ya Li”
“3 hari ? yaudah gak apa-apa aku tunggu. Tapi aku mau
jawaban kakak gak bohong”
“Makasih yah Li, kakak pulang dulu ya”
Tiga hari
berlalu begitu dan inilah hari yang paling mendebarkan. Karena hari inilah kak
Ravin akan menjawab semuanya. Kak Ravin berjanji akan menjemput aku disekolah.
Tak sabar aku menunggu jam 2 siang, karena aku memang pulangnya jam segitu.
Jam 2 siang
tiba. Aku menunggu di pos satpam bersama ‘Babe’ sang penjaga sekolah. Sepuluh
menit berlalu, kak Ravin belum datang juga. Dua puluh menit aku menunggu
bersama ‘Babe’ dan dua puluh menit lewat beberapa detik, kak Ravin datang
menemui aku.
“Liiaaaaa….maaf ya nunggu lama” aku hanya tersenyum
“Kita ke rumah makan belakang yuk…”
Aku tak
berkata apa-apa, yang kurasakan saat ini adalah perasaan yang tak menentu,
deg-degan pusing tujuh keliling.
“Lia…aku mau ngomong tentang perjanjian kita”
“Aku gak butuh basa-basi kak”
“Kakak berfikir….(Dua menit terdiam) kita jalanin aja apa
yang terjadi”
“Maksud kakak ?”
“Aku akan berusaha mencoba menyayangi kamu”
“Kakak serius ? aku gak mau kakak mbohongin aku”
“Bohongin gimana ? Aku serius !”
“Makasih ya kak, atas jawabannya”
Hari ini
aku bahagia, seperti bidadari yang paling beruntung di semua jagad raya ini.
Walaupun aku tau, kak Ravin belum bisa sepenuhnya sayang sama aku. Tapi aku
mencoba bersabar dan aku yakin, semuanya pasti akan berubah. Aku berharap, kak
Ravin cepat mempunyai rasa sayang itu untuk aku. Tak ada seorang pun yang tau tentang
hari bersejarah ini, kecuali teman-teman ku. Karena aku gak mau sampai kak Vani
tau, aku dan kak Ravin kan
baru 2 minggu kenal.
Sebulan berlalu tenang,
burung-burung kecil selalu menyambut pagi ku dengan ramah. Matahari selalu
tersenyum untuk hari indahku Aku selalu merasakan damainya hidup didunia ini.
Aku tak ingin semuanya berlalu begitu cepat. Sejauh ini kak Vani belum
mengetahuinya, aku juga tak bisa terus-terusan backsreet dari kak Vani.
Seperti biasa, kak Vani yang
selalu menyiapkan sarapan untukku.
“Pagi kak”
“Eh…tumben adik kakak udah bangun”
“Kak, aku mau ngomong, sekarang bisa”
“Ngomong apa de’ ”
“Emm…sebenernya akuuu….udah jadian sama kak Ravin”
Aku memberanikan diri untuk
berterus terang pada kak Vani. Tapi, kak Vani mendengar berita ini biasa saja.
Malah saat ku mulai bicara, wajah kak Vani tanpa ekspresi menjawabnya.
Menjawabnya pun hanya sekedar tersenyum, aneh, biasanya kak Vani paling
semangat mendengar cerita ku, ada apa ini ?
Setelah sarapan, aku mandi dan
bersiap untuk pergi ke sekolah. Gak biasanya mas Damar mengantarkan aku.
Biasanya pangeran hatiku yang selalu mengantar sambil pergi ke kampusnya. Mas
Damar sih memberi alasan yang cukup logis. Kak Ravin ternyata sedang sakit. Ooh
Tuhan, pangeran ku terbaring sakit, aku harus menjenguknya nanti pulang
sekolah.
“Lii…dah siap belum ?”
“Ayo kita berangkat mas !”
Ditengah
perjalanan, tak biasanya mas Damar yang begitu bawel dan ceplas-ceplos, tapi
kali ini mas Damar selalu diam dan wajahnya kelihatan letih, seperti banyak
masalah. Wajah kak Vani pun begitu, apa karena masalah kampusnya, memang kak
Vani sedang sibuk mengurus skripsi, mas Damar dan kak Ravin pun begitu. Tiap
kali aku bertanya, mereka hanya menjawab “ gak ada apa-apa kok” jawaban yang
cukup singkat. Dan anehnya lagi, saat aku bertanya tentang kak Ravin, mas Damar
hanya menggelengkan kepala. Masa iya mas Damar gak tau. Sebenarnya ada masalah
apa sih ? atau penyakit ka Ravin cukup serius ?”
Dua puluh
menit, akhirnya aku sampai di sekolah.
“Makasih ya mas !” Lagi-lagi mas Damar bersikap aneh, dia
hanya tersenyum paksa. Raut wajahnya begitu mencekam. Ah bukan jadi pikiran,
yang aku pikirkan hanyalah keluarga, pelajaran dan pangeran ku ‘Kak Ravin’
Tak terasa,
pukul 2 siang pun tiba, saatnya aku kembali kerumah. Seperti biasa, aku pulang
dengan angkutan umum. Dan dirumah sudah tersedia makanan yang sangat special.
Ayam bakar buatan kakak ku ‘ tapi siapa yang menyiapkan ini semua ?’
“Haii...bidadari kecil ku” Suara lembut terdengar tak jauh
dari telinga ku.
“Haah ? kak Vani, mas Damar, kak Ravin. Kalian kok” Aku
menggantungkan kalimat ku
“Iya sayang, hari ini, kami gak kuliah. Kami ingin bersama
kamu”
“Tumben, sebenernya ada apa sih ini ? kok aneh ?”
“Gak ada apa-apa kok sayang, kita mau deket kamu emang gak
boleh ?” mas Damar kembali bicara
“Looh ! katanya kak Ravin lagi sakit, udah sehat kak ?”
“Cuma demam aja, gak kenapa-kenapa kok !”
Kami
bercanda ria, tertawa penuh riang, walaupun begitu, tapi aku aneh pada semua
wajah dihadapan ku. mereka seperti penuh masalah, apalagi kak Vani, wajah kak
Vani seperti tampang merasa bersalah. Aku semakin heran.
“Kak, kalian kenapa sih ? kayak banyak masalah ?”
“Gak ada apa-apa kok adik ku sayang” Kak Vani menjawab
singkat
BAB.4
Matahari
sudah mulai sembunyi, senja datang beriring, mas Damar dan kak Ravin berpamit
pulang. Aku mendengar mas Damar berkata “Jangan bilang-bilang Lia ya Van” tak
hanya itu, aku mendengar kak Ravin berkata “Maaf ya Vani, tapi ini perasaan aku
semenjak kita ketemu” Sudah ku duga, mereka menyembunyikan sesuatu. Mereka tak
mau jujur pada ku. Aku mulai memasang wajah jutek.
“Kak ! aku mau nanya, kakak jawab yang jujur”
“Apa sayang ?”
“Kakak nyembunyiin sesuatu kan,
kakak punya rahasia kan,
aku denger semua yang dibicarain mas Damar tadi. Ada apa sih kak ?”
“Gak ada apa-apa kok Lia, kamu salah denger kali”
“Gak mungkin aku salah denger, terus apa maksud kak Ravin
ngomong begitu tadi ?”
“Ngomong apa ?”
“Kakak gak usah pura-pura gak tau deh, aku denger semuanya”
“Kamu ngomong apa sih sayang ?”
“Ooh aku tau, kak Ravin suka sama kakak ya ? kakak juga suka
sama kak Ravin kan
? Kakak jahat, kenapa kakak gak ngijinin aku buat hidup bahagia ?”
“Bukan gitu Lia ? Iya kak Ravin suka sama kakak, tapi dia
bilang dia juga sayang sama kamu. Bener de’ kakak gak punya perasaan apa-apa ke
kak Ravin”
“Kakak bohong ! udah deh jujur aja, sebenernya kak juga suka
sama kak Ravin kan
? Cuma mungkin kakak gak enak sama aku”
“Enggak Lia, bener kakak gak suka sama kak Ravin, kak Ravin kan punya kamu”
“Kalau kak Ravin bukan punya aku, pasti kakak akan suka sama
dia kan ?”
Ka Vani hanya terdiam dan berusaha menghibur rasa kekecewaan
aku.
“Udah ah, aku capek.
Ternyata emang bener kak Ravin gak pernah sayang sama aku”
Aku berlari
ke kamar, ku banting pintu kamar ku keras-keras. Tak terasa aku ketiduran, aku
terbangun sudah ada kak Ravin, mas Damar da kak Vani di samping ku.
“Mau apa kalian ? Kak Ravin buat apa kakak kesini ? mau
bertemu kak Vani ?”
“Lia, kakak kesini mau ngasih penjelasan ke kamu dan mau
minta maaf”
“untuk apa ?? semuanya udah jelas kan ??”
“Jujur, emang dulu kakak suka sama sama Vani, tapi itu dulu
Lii, sekarang kakak udah punya kamu. Kakak gak mungkin ngecewain kamu”
“Aku tau, dari dulu kakak emang gak bisa sayang sama aku kan ? kak Ravin emang
gak bisa ngilangin perasaan ke kak Vani, iya kan ?”
“Gak Lia..aku gak begitu, dulu emang aku susah buat
ngilangin perasaan ke ka Vani, tapi sekarang, aku udah gak ada rasa apa-apa ke
kak Vani dan sekarang aku Cuma sayang sama kamu”
“Ah gombal, kakak jangan Cuma ngobral omongan, aku gak bisa
percaya, terserah kak Ravin mau ngomong apa, aku tetep gak percaya, sekarang
kalian keluar dari kamar aku, keluar !!!”
Sambil
berjalan keluar kak Vani berkata “ Terserah kamu de’ percaya atau enggak, kakak
gak mau penyesalan kamu datang belakangan. Kak Ravin mau pergi”
“Aku gak percaya omongan kalian, kak Ravin mau pergi, ya
terserah, itu kan hak dia, seharusnya kak Ravin bilangnya
ke ka Vani, bukan ke aku. Ka Vani kan
berhak atas kak Ravin” Aku menjawab ketus.
Semua orang
sudah keluar dari kamar ku. tak ada satu pun suara diluar sana. Tunggu aku jadi berfikir apa yang
dikatakan kak Vani tadi ‘Kak Ravin ingin pergi ?’ kemana ?. apa itu cuma
akal-akalan kak Ravin doang, biar aku bisa memaafkan dia ? ah aku semakin benci
sama kak Ravin dan kakak ku sendiri. Kenapa mas Damar gak cerita sama aku ? mas
Damar musuh dibalik selimut. Aku benci semuanya, terutama kak Ravin dan kak
Vani. Semua egois !
Senja
berganti indah, mengikuti hembusan angin. Bulan telah berganti, aku tidak melihat
kehadiran ka Ravin dan cerita ka Vani tentangnya.
“kak, Ravin beneran pergi ya ??”
“Iya Lii, dia ditugaskan di Yogya,,oh….ya surat-surat dari
kak Ravin kakak taruh di kotak ungu”
Dengan singkat aku hanya menjawab “Bodo”
“Kakak gak mau penyesalan kamu datang terakhir”
“Emang Lia pikirin” Aku pergi meninggalkan kak Vani, yang
sedang sibuk mengerjakan tugasnya.
Lima
bulan berlalu suram ternyata kak Ravin benar-benar meninggalkan aku, mungkin
untuk selamanya dan gak akan kembali,gak mungkin kan ka Ravin kembali hanya untuk aku.
Lima bulan berlalu tenang, ka
Ravin menghilang tanpa jejak Mengirim surat pun tidak, memang semenjak kak
Ravin pergi, aku membuang sim card
nomer HP ku, dan menggantinya dengan yang baru. Seharusnya kak Ravin mencari
tahu tentang kabar ku, kak Vani kan
bisa dihubungin.berarti benar dugaan ku, kak Ravin ingin melupakan ku untuk
selamanya.
Di sekolah teman-teman ku selalu
bertanya tentang pangeran hatiku, oh tidak dia bukan pangeran ku, dia hanya
manusia yang gak berarti apa-apa didunia ini. Dia hanya makhluk Tuhan yang
merugikan. “Loe putus sama Ravin Lii?” itu pertanyaan teman-teman ku, aku
bingung untuk menjawabnya, dibilang putus, enggak ! lebih tepatnya kak Ravin
pergi meninggalkan aku, mungkin untuk selamanya.
Ya Tuhan, hampir setahun kak
Ravin tidak menghubungi ku, satu kali pun. Aku menyesal udah kenal sama ka
Ravin, aku memang manusia bodoh. Kak Ravin sudah bersikap sama aku seperti ini,
kenapa aku masih mengingatnya, aku belum bisa untuk melupakannya. Semua benda
pemberian ka Ravin masih tertata rapi di etalase koleksi ku. Foto-foto manis
kenangan kita masih ada di meja belajar ku, aku tak kuasa untuk membuangnya,
jujur aku masih sayang sama ka Ravin.
Setahun dua bulan telah berlalu,
aku tetap saja, mengharapkan ka Ravin kembali. Sejenak ku tersadar, gak akan
mungkin ka Ravin kembali hanya untuk aku. Percuma aku selalu menunggu yang tak
pasti.
“Woooy, ngelamun aja !” mas Damar mengaggetkan ku, saat ku
termenung di teras rumah.
“Kenapa mas, udah pulang dari Bandung ? sendirian aja ? tuh manusia mana ?”
“Siapa maksud kamu ?? Ravin ??”
“Siapa lagi kalau bukan Ravin, manusia yang paling merugikan
cuma dia”
“Dia kan
kerjanya di Yogya Lii, jauh sama mas Damar, sekarang ka Vani mana ??”
“Jadi toh dia pergi, pantes dia udah gak ngasih kabar lagi”
“Cukup !! kamu akan menyesal udah ngomong kayak gitu, kak
Vani mana ? gak kerja kan
”
“Di dalem, masuk aja” aku menjawab cuek.
Ka Vani dan
mas Damar langsung memeluk aku penuh haru, air mata kak Vani membasahi seluruh
tubuh ku.
“Ada
apa kak ??”
“Kita berangkat ke Yogya sekarang juga, kakak udah nyiapin
baju kamu”
“mas dammar udah beli tiket buat kita bertiga”
“Yogya ?? ngapain ?? mau nengokin Ravin ?? hahaha ” aku
tertawa meledek
Sepanjang
perjalanan kak Vani dan mas Damar menangis, aku bingung sebenarnya apa yang
terjadi ??
“kak, ada apa sih ?? Ravin mati ?? hahaha”
“Jaga mulut kamu Lii” mas Damar membentak ku tegas
“Lagian aneh-aneh aja, pada nangis begini”
Satu jam
sudah aku duduk di perut garuda. Mas damar segera memanggil taxi dan kami
menuju satu tempat.
“Kak kita mau kemana ??”
“Kita ketempat ka Ravin, ka Ravin ingin bertemu kamu”
“Males banget gue, ketemu sama manusia gak berguna kayak
dia”
Gak sampai
satu jam, kami tiba di rumah sakit, astaga…tempat apa ini ?? aku dirangkul erat
oleh mas Damar menuju ruang UGD.
“Mas, kita mau kemana ??”
Krreeeekkk…
Mas Damar membuka pintu kamar UGD dan…Ya Tuhan, tubuh ku
seakan terbang, kak Ravin terbaring lemas, sprai yang berwarna putih suci kini
telah dinodai warna merah, nafas kak Ravin hampir berhenti,berbisik lembut
memanggil nama ku. Kak Vani tak kuasa menahan semuanya, ia terjatuh pingsan
saat masuk ruang UGD. Ku hampiri kasur yang penuh darah itu, kantung mata ku
yang terisa air, tumpah membasahi keramik yang tersusun rapih dan bersih, aku
membaringkan kepalaku di dada kak Ravin.
“Lii,maafin kakak ya, ka Ravin sayang Lia”
“Kakak gak perlu minta maaf, aku yang banyak salah sama
kakak,seharusnya aku yang minta maaf, aku selalu menghina kakak, dan sifat aku
yang terlalu keras kepala, Lia sayang sama kak Ravin. Maafin Lia ya kak !!”
Saat aku
berbisik, ternyata kak Ravin sudah tidak mendengar ucapan ku, nafasnya sekejap
terhenti.
“Ka Raviiiiiiinnnnnn jangan tinggalin Lia !!!”
Suster menutupi wajah kak Ravin
dengan sehelai kain putih yang lembut. Mas Damar kembali menyeret ku lembut.
Ditaruhnya kepala ku di sandaran kursi. Mas damar yang begitu sibuk mengurusi
kain-kain untuk kak Ravin, karena memang di dunia ini hanya Mas Damar lah
keluarga kak Ravin, Mas Damar teman dekat kak Ravin yang sudah seperti saudara.
Beberapa jam kemudian, tubuh kak Ravin sudah dibungkus rapat dengan kain
putihnya, sekejap kak Ravin tertimbun didalam tanah yang penuh semut dan
cacing. Air mata kami jatuh dan terus jatuh tak tertahan. Sebuah penyesalan
selalu hadir dalam tanya ku.
“Liii, kenapa selama ini surat kak Ravin gak pernah dibalas
?? nomer HP kamu kenapa ??”
“Apa mas ?? Surat ??”
“Iya Lii, surat-surat kak Ravin selalu kakak letakan di
kotak yang ungu itu” Kak Vani angkat bicara.
“Kotak ?? kenapa kakak gak langsung kasih ke aku ??”
“Dulu kamu pernah bilang kan Lii ? apapun titipan buat kamu,
kakak suruh menaruh di kotak itu, kita juga udah jarang ketemu kan Lii, kakak
selalu pulang malam dan berangkat pagi.
“Kak Ravin selalu menunggu balasan dari kamu Lii, tapi gak
ada satu pun kamu membalas suratnya”
“Memang mas, semenjak kak Ravin pergi aku membuang sim card ku, aku ingin melupakan kak
Ravin, tapi kenapa kak Ravin gak menghubungi kak Vani ?”
“Masalah HP mungkin susah Lii, waktu itu kak Ravin
bilang,sewaktu ia mendapat pelatihan, kak Ravin ditempatkan didaerah yang susah
untuk mancari jaringan, yang bisa ia lakukan hanya mengirim surat”
“Jadi selama ini kak Ravin belum bisa melupakan aku ??”
Ya Tuhan,
rasa penyesalan selalu saja hadir untuk ku, kak Ravin yang selama ini aku
anggap menyebalkan dan sering kali aku berfikir kak Ravin sudah melupakan aku
untuk selamanya, tapi ternyata semua itu salah. Maafkan aku kak … aku yakin
kakak pasti lebih tenang hidup disana. Lia juga sayang kak Ravin. Aku
menuliskan kata-kata itu di semua pemberian kak Ravin.