HARAPAN
YANG SIRNA
by : anisa maryati
10210874
”Edgar,Ruffan
mana?” sekertaris kelas yang mungil dengan gaya rambut layernya telah mampu
membuat pensil Edgar melontar entah kemana. Sudah seminggu ini, seisi kelas
gempar dengan kepergian misterius Ruffan, kesiswaan dan guru BK setiap hari memanggil
Vania, selaku sekertaris kelas.
“Edggarrrrrrrrr…..”hentakan
Vania kembali memecah, membuat pria berkacamata menyodorkan kotak kecil bermata
biru. ”Apa ini?” kerutan keningnya mulai terbentuk, dengan gaya cool yang sibuk
dari tadi mengatur posisi kacamatanya melontarkan satu kata ”Baca” Vania mulai
membuka…
Lembar pertama….
Ayahh.. Ruffan gak akan pernah lupa sama
harapan Ayah dan Bunda.Ruffan yakin, di balik sifat keras ayah menyimpan sayang
untuk Ruffan. Ruffan akan berusaha apapun kehendak ayah tapi, gak saat ini.
Senin 031007
Lembar kedua…
Bunda, tolong sadari ayah dari sifat
kerasnya, bilang sama ayah permata biru ini, akan Ruffan jaga walaupun ayah gak
pernah suka sama Ruffan.
Selasa 041007
“Neng!!!” Neva merebahkan
telapak tangannya di pundak kiri gadis berambut layer.
“Lo
baca apa?” Neva menatap kaku wajah Vania,yang dari tadi memasang tampang aneh, ibarat
orang kesasar yang bingung mencari jalan.
“Ruffan!!”
“Kemana
Ruffan?”
“Gue
yakin dia lagi ada masalah” suara nyaring menjawab dari kejauhan, siapa lagi
kalau bukan Edgar, chairmate Ruffan.
“Kita
harus nyari Nev!”
0-----0-----0-----0
Pagi
ini sangat cerah, matahari menyapa ramah, kupu-kupu kecil membangkitkan
semangat untuk memulai hari baru. Hari ini, seluruh siswa kelas 11 IPA akan study tour ke Boscha Bandung.Oh tidak. Kali
ini kupu-kupu kecil tidak bisa membangkitkan semangat, Ruffan sesosok pria
berbudi menghilangkan hari indahnya.
Kekerabatan
mereka pupus satu, sejauh ini Tuhan belum menunjukan jalan keberadaan Ruffan. Bunda
manis, panggilan hangat ibunda Ruffan, yang kian hari kondisinya semakin
melemah, memikirkan apa yang sudah terjadi.
Sepanjang
perjalanan suasana hening, Pedra yang pandai ngebanyol berubah kaku. Menghilangnya
Ruffan telah membuat semua hening, tak lain Ibu Azaria sosok wanita lembut, dengan
kain ala Arabian menutupi rambutnya, yang setiap saat menanyakan informasi
tentang anak muridnya “Anugrah Ruffanizam Mulia” besok genap 3 bulan
menghilang.
“Kemana
sih Ruffan?” Vania menyenderkan kepalanya di dataran jendela bus, sambil mulai
merengut bayang hampa, memaksa mata menatap kotak bermata biru.
“Itu
Ruffan” suara Neva memberhentikan bus, membuat Ibu Azaria menghampiri pria yang
terpojok di sudut kota “Ruffan”, pria itu membalik perlahan saling menatap
kaku, tatapan mata terbelalak tajam merubah arti seakan syahdu. Berbinar pudar
menatap obyek yang terlihat.
“Saya bukan
Ruffan”berlari menutup wajahnya kilat.
“Ruffan
berhenti,kita gak mau kehilangan kamu”Edgar sang chairmate dan rombongan
lainnya ikut mengejar cepat.Tapi Tuhan berkata lain,beradius 2 KM,Edgar harus
merelakan kaki kirinya,bus dari lawan arah menghantam tubuh Edgar,alhasil
terpental jauh.
Mungkin ini
salah Edgar,menyebrang tanpa perhitungan,demi menghampiri sahabatnya.Study tour
dibatalkan,Edgar hanya terbaring lemah berbalut perban dengan layer kecil
mendeteksi hidupnya.Tatapan mata Edgar kosong,nafasnya berirama mengikuti alat bantu.
0-----0-----0-----0
“Maafkan Ruffan
nak!” Antrian air mata bunda manis memaksa keluar.
“Gak papa Bun!
Ini sudah perintahNYA” Edgar menjawab lemas.
Pagi ini adalah
hari pertama Edgar berjalan dengan kaki barunya, setelah 10 hari mengkosongkan
tatapannya,merangkai keikhlasan untuk beradaptasi menyesuaikan langkah.
“Kamu di mana
sih nak ? Kamu telah merepotkan banyak orang” mata Bunda Manis makin
menyempit,yang setiap hari hanya menumpahkan sederetan air mata. Membuat tangan
kanan Neva yang berbalut bulat berdenting mendarat kearah lipatan mata Bunda manis.
Beberapa pasang mata menatap kotak kecil kira-kira berukuran 30Х50cm dengan
gambar genik,yang telah lama menghilang.
0-----0-----0-----0
Dentingan waktu
mengantarkan 5 bulan kepergian Ruffan. Bunda manis hanya meratapi kotak kecil
dengan permata birunya. Ayah dan Bunda Ruffan menaruh ribuan harapan pada
anaknya,di bekali dengan didikan positif dan permata biru yang kini menempel di
buku harian Ruffan. Mungkin aneh, sesosok cowok yang seharusnya tegar dan
bersikap acuh malah memiliki buku harian yang terkesan “Lenje”. Tapi permata biru itu,begitu berarti untuk Ruffan,permata
biru memiliki makna yang indah karena Tuhan telah menitipkan Anugrahnya yaitu
Ruffan.
Rabu, 200308. . .
Sore itu, puluhan
pasang mata yang sedang berkumpul menatap tegang kearah ambang pintu rumah
Ruffan. Ditatapnya berkali-kali pria berbudi dengan membawa map dan medali emasnya.
Terengah Bunda manis berdiri dan tangan kanannya mendarat kasar menuju dataran
pipi Ruffan.
”Untuk apa kamu
kembali?” mencuap emosi bunda terlontar. Ruffan telah kembali,tapi sambutan
kaku menyapanya.
“Lihat Ayah kamu
disana nak,terbujur kaku mengarah kiblat”. Entah apa yang bisa Ruffan lakukan, halilintar
menyapa hatinya,darah yang mengalir deras, sekejap terhenti, hanya tinggal bayang
kaku menyambut dirinya, melangkah perlahan menghampiri sosok manusia tak
berdaya, isak tangis hadir menemani.
“Kenapa Ayah
pergi? Lihat apa yang Ruffan bawa Ayah!! Sertifikat kejuaraan dan medali impian
Ayah Ruffan berhasil merebutnya”. Tetapi semua itu sirna, Ayah Ruffan tidak
mampu melihat keberhasilan anaknya. Ruffan sengaja menghilang untuk merebut
kedudukan selama ini Ayah impikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar