Aku
Ikhlas, Bunda !!
by : anisa maryati
10210874
“Gue yang menang!! Janji kalian harus dilunasi” cengir Zea
menadah tangan ke wajah tiga sahabatnya, Mahar, Earl dan Syukur. Syukur lah
yang selalu jadi bulan-bulan ‘pengejekan’, ntah di sekolah, tempat pengajian
maupun organisasi lainnya. Alasan ejekan mereka sangat sederhana, Cuma sebuah
nama bias jadi gempar. Katanya ‘Syukur’ adalah nama orang kolot yang
kehidupannya masih menyatu dengan alam. Padahal dengan nama itu hidup akan
lebih hokky (hanya pendapat Syukur).
“Sabtu kita kumpul, sekalian ngeregangin otak”. Setiap
hari, bahkan hitungan detik, hidup mereka dibaluri dengan rumus dan soal. Wajar
sajalah, seorang pelajar yang berkewajiban ‘berpacaran’ dengan buk, apalagi
dalam menghadapi UAN dan saringan masuk Perguruan Tinggi Negeri. Rasanya makan
pun dilauki dengan soal.
Satu langkah sudah berjalan, lulus dalam UAN, meski
beberapa minggu lagi masih harus berhadapan dengan saringan masuk. Zea berhak
mendapatkan keinginan yang selama ini belum terlaksana, menikmati keindahan
binatang air. Semua adalah hasil dari taruhan bersama sahabat-sahabatnya. Siapa
yang mendapat nilai tertinggi, boleh meminta apapun.
“Bunda..Jordy, Syukur yang kasih makan yaa!!” memang
terlalu bagus, nama ‘Jordy’ hanya untuk seekor kambing. Sudah biasa mereka
memasuki rumah Zea. Rumah yang sangat sederhana, hanya gubuk dan bamboo reyot yang
Nampak, namun terlihat megah. Karena ayah dan bunda telah mendidik anak semata
wayangnya menjadi seorang harapan bangsa.
Mahar dan Syukur juga tergolong setara dengan Zea.
Sepulang sekola, mereka membantu kedua orang tuanya mencari penghidupan. Mahar
yang hanya anak seorang penarik becak, ayah Syukur dan Zea hanyalah seorang
kuli borongan. Berbeda dengan Earl, ayahnya sebagai pengusaha ternama dan
ibunya selalu mondar-mandir keluar negeri, ntah apa yang dikerjakan. Tapi hidup
mereka saling melengkapi. Hidup sederhana, tidak membuat harapan yang kian
sederhana. Sejauh ini masih sungguh diherankan “Kenapa Earl mau berteman dengan
kita? Seorang anak miskin, norak dan kampungan?
“Assalamualaikum”
Zea menaruh bakul di tempat biasa, sambil menyerahkan uang hasil jualannya ke
bunda. Terlihat Earl sedang menikmati pisang goring terhidang dimeja. Padahal
teman yang lainnya asyik membantu bunda membersihkan pavilyun Jordy. Memang
kambing istimewa, kandang pun disebut pavilyun.
Sudah biasa pula Earl seperti itu, tidak mau menyentuh
tanah, apalagi harus berkenalan dengan kotoran kambing. “iiggh!! Jijik!!”
tegasnya. Maklum sajalah kehidupan hari-harinya lebih dominan dilayani. Earl
memang anak orang kaya ternama yang terhormat dan selalu dilayani, tetapi tidak
dirumah Zea, ia harus mau mencuci piring sendiri sehabis makan dan itu sebuah
penghargaan terbesar baginya.
“Hey cengcorang” sapa Zea menuju kandang Jordy. “Gue
mandi dulu” sapaan Zea serasa angin, tak ada seorang pun yang menjawab. Jordy
lebih disayangkan disbanding temannya sendiri.
“Kongkow yuk!!” ajak Earl selagi Zea mengacak ngacak
rambunya dengan handuk dan Mahar hanya mengerutkan dahinya membentuk suatu
pusaran.
“dimana??” sambung Syukur agak paham. Ya memang Syukur
masih terbilang ‘gaul’ kata-kata keren anak sebayanya, sudah hafal diluar
kepala. Gak menutup kemungkinan nama jadul, pikiran pun kuno.
“C.I sama anak skate” nsemua terdiam “gue yang bayar”
lanjut Earl dengan sombongnya. Syukur mengisyaratkan matanya kearah Zea
bertumpu. Acuh memandangnya, handuk pun terjemur rapi di susunan tali halaman
belakang. Semakin mengabaikan ajakan Earl, Zea ikut jongkok disebelah Mahar
yang daritadi enggan meninggalkan Jordy.
“Gimana?? Mau gak??” Syukur menegaskan dan Zea menjawab
singkat “Gak” berbalas Earl “Norak”. Mata Zea spontan tajam menatap Earl “Lo
aja yang pergi
Hari
yang cerah membuka semangat baru. Seperti biasa, pagi-pagi sekali. Mungkin
masih dikategorikan malam. Karena jam 02.00, semua orang masih terjaga dalam
tidurnya. Tapi Zea, sudah semangat membungkus daging ayam berbalut ketan dengan
daun pisang. Ribuan kali bunda melarangnya, tapi Zea selalu mengelak “biar
cepet beli mobil” tukasnya renyah.
Setelah
solat subuh, Zea bersiap dengan putih abu-abunya yang sebentar lagi harus
terlepas. Standbye di sepeda mini dambaannya. Sebuah kendaraan yang setia
menopang berat badab Zea dan bakul berisi kue. Sebelum berangkat sekolah, ia
memutar arah menuju warung pojok jalan, menitipkan kue-kue buatan bersama
bundanya. Melanjutkan goesan sepeda ke perempatan jalan, disitulah kedua
sahabatnya menunggu.
Terkadang
jika mood Earl ibarat Angel, Earl menjemput ketiga sahabatnya dengan jazz yang
termodifikasi, tak adapun yang menolak “nyobain jadi orang kaya” sambar Syukur
cuek.
“males
gue, masih aja sekolah, padahal udah UAN, cabut yuk!!” sergah Earl sembari
membanting tasnya kerebahan kursi. Terlihat Mahar ikut merampas tas dari
pusaran awal, menuju arah kantin, tanpa merespon sekitar yang memanggilnya,
disusul Earl dan Dante dengan pipi bergerak mengeluarkan balon. Tapi arah
tujuan mereka berbeda. Earl dan Dante merayap gerbang sekolah belakang,
sedangkan Mahar berlari kecil menuju kebun, tempat terindah para siswa.
Tersandar dengan posisi satu kaki menempel di tembok, menghembuskan asap seraya
pakarnya. Reflek tangan Syukur merampas paksa, batang putih yang ada
digenggamannya. Tanpa hirau Mahar pergi menyusul gerakan Earl dan Dante.
Tergopoh-gopoh Zea berlari meredam emosi Syukur, alhasil Syukur dapat tenang
kembali duduk manis di bangku 12-A.1
“
Kenapa gak ikut tambahan seleksi??”
Syukur dan Zea seakan mengintrogasi Mahar,
bukan Earl. Sudah biasa kalau Earl membuat keonaran di sekolah, ruang BK
menjadi salah satu persinggahannya. Tapi tidak untuk Mahjar, ini adalah
perdananya dai melakukan aksi nekat seperti ini.
Hanya berbalas senyum yang terlontar dari bibir Mahar.
Diinformasikan MAhar termasuk cowok kalem, pendiam, dan sangat menghemat ucapan,
sehinnga ia hanya mampu mengajarkan arti senyuman. Sangat bertolak belakang
dengan Syukur, selalu saja mengobral kata demi kata. Suasana apapun bias cair
dengannya. “Karakter kami memang berbeda”
“Ze ulas pembahasan statistic dong, gue masih ragu”Sergah
Syukur memohon. Diundanya belajar bersama, tapi Mahar? Kali ini ia menolakuntuk
bergabung”sebenarnya apa sih yang terjadi? Bukankah cita-cita kami menduduki
bangku PTN? Apa mungkin Mahar sudah jenuh belaja? Sepertinya itu bukan Mahar”
Tepat jam tujuh malam, seperti biasa rumah Zea menjadi
tempat persinggahan sahabat-sahabatnya. Earl hanya meraih waktu lima menit
bersandar di jajaran bamboo. “pengen nongkrong” tukasnya sok gaul. Tidak dengan
Syukur, dia sudah standbye di lantai beralas tikar beberapa buku terbuka.
Hamper setengah jam menunggu Zea, yang ntah apa dilakukan dikamarnya. Tak
sabar, Syukur mendibrak pintu Zea yang tidak terkunci.
“Astaga…!!!! Zea…!!” terlihat sahabatnya terbaring
dihamparan lantai beralas tikar.
“Bundaaa…!!!” diangkat tubuh sahabatnya menuju kamar,
ditemui bunda sedang mengayak tepung di dapur.
“Zea pingsan Bunda…!!!” ntah apa yang dipegangnya
terlempar begitu saja. Bahkan ayakan tepung, berhamburan mewarnai daun pisang
di sekililingnya.
Diusap kening anaknya, sambil terus memanggil nama
“Zea!!”. Syukur hanya berdiri dingin disamping bunda, ntah apa yang harus
dilakukan, menatap khawatir kearah rebahan sahabatnya.
Sepuluh menit sudah, akhirnya Zea siuman, dipanggil nama
sahabatnya “Mahar!!” hanya nama Mahar yang terlontar, bukankah seharusnya
Syukur? Toh daritadi Syukur yang mengkhawatirkannya. “Kamu sudah sadar nak??”
sambung bunda samar. Dengan terus memijit kaki kanan anak semata wayangnya.
“Masuk angin kali bund!!” serga Syukur yakin, dibalas
senyuman Zea mengisyaratkan “Zea baik-baik saja”
Alhamdulillah.’Zea
Axela’ sebuah nama yang memiliki arti indah,berhasil mendapatkan kursi untuk
melanjutkan studynya di Perguruan Negeri Jakarta.
“Zea Axela SMA Harapan 1 Kesehatan Masyarakat,begitulah pengumuman yang tertera di
layar online.”Tidak masalah ,tidak jadi Dokter ,yang penting masih bisa
membantu tentang kesehatan” ,Tukasnya
bangga.
Ketiga
sahabatnya telah memiliki jalan masa depan masing-masing. Earl melanjutkan di
London, Syukur juga berhasil menduduki bangku Perguruan Tinggi Negeri dengan
jurusan Astronomi, hanya saja dia tidak di Jakarta, melainkan di kota
kelahirannya “Yogyakarta”.
Kalau Mahar? Ntah
kemana perginya, pertemuan terakhir dengan sahabatnya, setelah hari itu, hari
perdananya cabut sekolah. Rumahnya pun sepi, bahkan tetangganya tidak ada yang
tau.
“Mahar, kami
merindukanmu”
Dua semester sudah mereka jalani dan artinya satu tahun
mereka telah terpisah. Hanya sebuah goresan tinta yang menjadi obat rindu
mereka. Earl yang kabarnya berhasil meraih posisi 10 besar dan akan melanjutkan
seleksi pertukaran mahasiswa di Kanada. Masalah prestasi bias di acungi jempol,
tapi tobatlah sedikit, Earl “Hentikan mengoleksi pacar”.
“Selagi muda” balasnya
ringan.
Syukur tidak banyak berubah, gaya dan tingkah lakunya
masih kental seperti dulu. Sapaannya renyah dan banyolannya unik masih dapat
dirasakan, meski hanya melalui tarian tinta yang melekat di kertas. Minggu
lalu, ia mengirimkan foto bersama gadia cantik disampingnya. “Pacarku ayu*
toh??” Tukasnya (ayu : sebutan untuk wanita anggun dan cantik dalam bahasa
Jawa)
Kedua sahabanya sangat beruntung sepertinya. Prestasi
yang kian membaik, pergaulan semakin luas bahkan jaringan komunikasi terus
melesat, sehinnga usaha sampingan mereka lancer terkendali. Ya memang begitulah
kehidupan anak kulia, harus mencari dana tambahan.
“Berbeda denganku” Ratap Zea rintih. Ditatapnya kayu
persegi, kira-kira berukuran 50x70cm, tetera gambar lucu bersama 3 sahabatnya.
Dengan property alat-alat masak gosong, Jordy pun ikut bergaya. Air mata terus
mengalir, sambil memegang kepalanya. Ntah penyakit apa yang sedanghadir di
tubuh Zea, sehingga berkali-kali harus terbaring lemah berlapis selimut, daftar
hadir di kampusnyasering sekali kosong, prestasinya pun kian menurun. Sungguh
disayangkan, seorang gadis cantik berakhlak mulia mendapat nilai D, padahal
dulu selalu berprestasi, berbagai olimpiade mampu dilahapnya. Mungkin sudah
ratusan kali, bahkan ribuan kali, ayah dan bunda meminta maaf kepada Zea “tidak
bisa membiayai ke Rumah Sakit” makan sehari-hari saja sudah bersyukur, apalagi
sekarang status beasiswa Zea yang dibawanya sejak SMP telah dicabut, karena
nilai-nilainya tidak layak untuk dibanggakan. “Zea berhenti kuliah sajalah”
niatnya dalam hati.
Ya!!
Akhirnya niat itu terlaksana “berhenti kuliah” semakin hari tubuh Zea semakin
mengerut, sehingga tidak mampu untuk berfikir secara dalam. Biaya untuk kuliah
pun jadi beban tambahan ayah dan bunda. “lebih baik Zea bantu ibu jualan, cukup
sampai semester 3 saja Zea jalani”
Setiap minggu, kertas berbungkus amplop terus dating,
bahakn Earl pernah mengirim gelang berlapis berlian, yang dibelinya sewaktu ia
survei lokasi di Kanada dan Syukur selalu mengirim foto bersama gadis belia
itu.
Bulan semakin bertambah, bahkan sudah terbilang satu
tahun Zea tidak pernah membalas surat sahabatnya. Syukur dan Earl bertanya
dalam heningnya “Kemana Zea? Apakah ia sibuk dengan tugasnya sampai tak sempat
menulis surat?” dalam surat terakhir, Earl berjanji akan terbang menuju
Indonesia untuk memastikan apa yang terjadi pada Zea. “Setelah menerima IP ya
Zee!!” itulah janjinya.
Sebulan telah berlalu dan inilah waktu yang dinanti Earl,
menginjak bumi tercinta untuk bertemu sahabanya. Hanya dalam hitungan jam,
bandara Soekarno-Hatta berhasil di injaknya. Memanggil Taksi yang bersiap
menuju kea rah rumah Zea. Dua jam perjalanan dan akhirnya sampai juga melihat
sekeliling masih seperti dulu, gubuk sederhana nyris reot masih bertahan
melindungi keluarga yang mempunyai satu harapan bangsa.
“Assalamualaikum..bunda,
Jordy!!” seperti biasa yang dicari hanya bunda dan Jordy, padahal tujuan
utamanya bertemu Zea?”
“Tanpa
ada perintah “masuk” Earlpun sudah menginjak batas ruang tamu, sewaktu
meniatkan langkah ke kandang Jordy, pusaran arah memutar 90°. Tampaklah gadis
terbaring lemah di jajaran bamboo beralas tikar. “Zeaa??” Tatap Earl lemas.
Sudah tidak bias dikategorikan cantik lagi, karena saat ini, badan yang dulu
elok semampai, sekarang hanyalah tulang yang terbungkus kulit. Mahkota indanya
kian gugur, bahkan sudah tidak dikenalinya.
“Zeaa!!”
panggil Earl tidak yakin “Lo bukan Zea kan? Zea mana?” Tatap Earl menatap hanya
sebuah gelang yang melingkar sedikit memberikan keyakinan untuk Earl. Tatapan
Zea kosong, tidak mengenali, langkah Earl semakin dekat dan wanita paruh baya
dating menghampirinya.
“Itu Zea nak!!” suara bunda
meyakinkan. Earl mengartikan pasrah. Sepertinya air mata bunda telah habis
terbuang, bunda terlihat tegar dalam menceritakan semua yang terjadi. Terlebih
penyakit Zea, bunda hanya mampu membawanya ke tabib, tak jauh dari rumahnya.
“Gak
mungkin!! Ini bukan kena roh halus bund!! Ini penyakit serius!!” Tegas Earl
“sekarang ke dokter”
“jangan
nak!!” tolah bunda merintih “bunda tidak punyaa…!!” terpotong kalimat bunda
yang tersambung Earl paksa. Diangkat tubuh sahabatnya menuju mobil taksi yang
telah dipesan beberapa menit lalu. Zea hanya bias menatap kosong dan sesekali
menyebut nama Mahar.
Tanpa
berfikir panjang, moboil melaju kencang dan Earl mengambil seluler genggam dari
kantong celananya, dengan cepat ia memesan tiket expres arah Yogya menuju
Jakarta dikirim ke alamat Syukur dengan memo “cepat kerumah Zea!!”
Dokter
hanya menggeleng pasrah, tersenyum ikhlas untuk bunda. “Hasil rontgen saya
serahkan besok!!” dokter sudan menolah rawat inap untuk Zea. Earl dapat
mengartikan maksud yang tersirat dari mata dokter. Hanya saja tak sanggup
menyampaikannya ke bunda.
“Kita
pulang ya bund!!” ajak Earl tenang. Bunda hanya mengangguk bingung. “Zea sakit
apa nak?” wajah Earl melontar kaku, hanya mampu menjawab “Serahkan semua pada
Tuhan ya bund!!”
Lima
jam penantian, akhirnya Syukur datang melihat langsung apa yang terjadi. Lemas
tak dapat menatapnya, bahkan ia tidak yakin, bahwa itu “Zea!!” sahabatnya yang
selalu menjadi penyemangat hidup.
“Mahar!!”
ucap Zea lemah, sangat lemah. Dengan jurus andalannya “uang”. Earl
memerintahkan 50 orang untuk mencari Mahar. “Berapapun yang kalian minta, akan
saya turuti. Asal ketemu dalam waktu singkat” perintahnya sombong.
“Ternyata
dalam waktu 3 jam, tanpa jasa pesuruh Mahar hadir di sela-sela penantian.
“Kemana aja lo??” Emosi Syukur tak terkendali, menyisakan memar di pipi Mahar.
Ditemukannya diary Zea, ditumpukan surat yang tidak sempat terbaca :
**Ayah-Bunda,
makasih perjuangannya hanya untuk Zea, yang akhirnya Zea hanya merepotkan
kalian. Zea sudah gak kuat bund, dengan kanker otak yang hadir sekarang. 3
semester ini, Zea sempat belajar tentang kanker dan maaf semua ini Zea
rahasiakan, takut ayah-bunda sedih dan hanya menambah beban. Bundaa.. kelak Zea
pergi suatu saat nanti, tolong sampein ke Earl, Syukur, Mahar. Bahwa Zea sayang
sama mereka. Terlebih Mahar, makasih selalu ngajarinZea apa arti senyuman.
Jagain Jordy ya bund, bilang juga kalau Zea ga akan ngelupain Jordi**
Menekukkan
dua kaki Mahar disisi Zea, mengecup kening manis sahabatnya. “Maafin aku
Zeaa!!”
Keempat
tangan berkumpul di titian perut Zea. Air mata tak sanggup lagi untuk
dibendung, tak ada tawa canda, celaan yang dirindukan.
Hening,
suasana sunyi. Terlihat Zea mengambil nafas panjang. “Aku ikhlas, Bunda!!” yang
kemudian menutup matanya dengan damai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar