Senin, 10 Juni 2013

Aku Ikhlas, Bunda !!



Aku Ikhlas, Bunda !!
by : anisa maryati
10210874
            “Gue yang menang!! Janji kalian harus dilunasi” cengir Zea menadah tangan ke wajah tiga sahabatnya, Mahar, Earl dan Syukur. Syukur lah yang selalu jadi bulan-bulan ‘pengejekan’, ntah di sekolah, tempat pengajian maupun organisasi lainnya. Alasan ejekan mereka sangat sederhana, Cuma sebuah nama bias jadi gempar. Katanya ‘Syukur’ adalah nama orang kolot yang kehidupannya masih menyatu dengan alam. Padahal dengan nama itu hidup akan lebih hokky (hanya pendapat Syukur).
            “Sabtu kita kumpul, sekalian ngeregangin otak”. Setiap hari, bahkan hitungan detik, hidup mereka dibaluri dengan rumus dan soal. Wajar sajalah, seorang pelajar yang berkewajiban ‘berpacaran’ dengan buk, apalagi dalam menghadapi UAN dan saringan masuk Perguruan Tinggi Negeri. Rasanya makan pun dilauki dengan soal.
            Satu langkah sudah berjalan, lulus dalam UAN, meski beberapa minggu lagi masih harus berhadapan dengan saringan masuk. Zea berhak mendapatkan keinginan yang selama ini belum terlaksana, menikmati keindahan binatang air. Semua adalah hasil dari taruhan bersama sahabat-sahabatnya. Siapa yang mendapat nilai tertinggi, boleh meminta apapun.


 

            “Bunda..Jordy, Syukur yang kasih makan yaa!!” memang terlalu bagus, nama ‘Jordy’ hanya untuk seekor kambing. Sudah biasa mereka memasuki rumah Zea. Rumah yang sangat sederhana, hanya gubuk dan bamboo reyot yang Nampak, namun terlihat megah. Karena ayah dan bunda telah mendidik anak semata wayangnya menjadi seorang harapan bangsa.
            Mahar dan Syukur juga tergolong setara dengan Zea. Sepulang sekola, mereka membantu kedua orang tuanya mencari penghidupan. Mahar yang hanya anak seorang penarik becak, ayah Syukur dan Zea hanyalah seorang kuli borongan. Berbeda dengan Earl, ayahnya sebagai pengusaha ternama dan ibunya selalu mondar-mandir keluar negeri, ntah apa yang dikerjakan. Tapi hidup mereka saling melengkapi. Hidup sederhana, tidak membuat harapan yang kian sederhana. Sejauh ini masih sungguh diherankan “Kenapa Earl mau berteman dengan kita? Seorang anak miskin, norak dan kampungan?
“Assalamualaikum” Zea menaruh bakul di tempat biasa, sambil menyerahkan uang hasil jualannya ke bunda. Terlihat Earl sedang menikmati pisang goring terhidang dimeja. Padahal teman yang lainnya asyik membantu bunda membersihkan pavilyun Jordy. Memang kambing istimewa, kandang pun disebut pavilyun.
            Sudah biasa pula Earl seperti itu, tidak mau menyentuh tanah, apalagi harus berkenalan dengan kotoran kambing. “iiggh!! Jijik!!” tegasnya. Maklum sajalah kehidupan hari-harinya lebih dominan dilayani. Earl memang anak orang kaya ternama yang terhormat dan selalu dilayani, tetapi tidak dirumah Zea, ia harus mau mencuci piring sendiri sehabis makan dan itu sebuah penghargaan terbesar baginya.
            “Hey cengcorang” sapa Zea menuju kandang Jordy. “Gue mandi dulu” sapaan Zea serasa angin, tak ada seorang pun yang menjawab. Jordy lebih disayangkan disbanding temannya sendiri.
            “Kongkow yuk!!” ajak Earl selagi Zea mengacak ngacak rambunya dengan handuk dan Mahar hanya mengerutkan dahinya membentuk suatu pusaran.
            “dimana??” sambung Syukur agak paham. Ya memang Syukur masih terbilang ‘gaul’ kata-kata keren anak sebayanya, sudah hafal diluar kepala. Gak menutup kemungkinan nama jadul, pikiran pun kuno.
            “C.I sama anak skate” nsemua terdiam “gue yang bayar” lanjut Earl dengan sombongnya. Syukur mengisyaratkan matanya kearah Zea bertumpu. Acuh memandangnya, handuk pun terjemur rapi di susunan tali halaman belakang. Semakin mengabaikan ajakan Earl, Zea ikut jongkok disebelah Mahar yang daritadi enggan meninggalkan Jordy.
            “Gimana?? Mau gak??” Syukur menegaskan dan Zea menjawab singkat “Gak” berbalas Earl “Norak”. Mata Zea spontan tajam menatap Earl “Lo aja yang pergi


 


Hari yang cerah membuka semangat baru. Seperti biasa, pagi-pagi sekali. Mungkin masih dikategorikan malam. Karena jam 02.00, semua orang masih terjaga dalam tidurnya. Tapi Zea, sudah semangat membungkus daging ayam berbalut ketan dengan daun pisang. Ribuan kali bunda melarangnya, tapi Zea selalu mengelak “biar cepet beli mobil” tukasnya renyah.
Setelah solat subuh, Zea bersiap dengan putih abu-abunya yang sebentar lagi harus terlepas. Standbye di sepeda mini dambaannya. Sebuah kendaraan yang setia menopang berat badab Zea dan bakul berisi kue. Sebelum berangkat sekolah, ia memutar arah menuju warung pojok jalan, menitipkan kue-kue buatan bersama bundanya. Melanjutkan goesan sepeda ke perempatan jalan, disitulah kedua sahabatnya menunggu.
Terkadang jika mood Earl ibarat Angel, Earl menjemput ketiga sahabatnya dengan jazz yang termodifikasi, tak adapun yang menolak “nyobain jadi orang kaya” sambar Syukur cuek.
“males gue, masih aja sekolah, padahal udah UAN, cabut yuk!!” sergah Earl sembari membanting tasnya kerebahan kursi. Terlihat Mahar ikut merampas tas dari pusaran awal, menuju arah kantin, tanpa merespon sekitar yang memanggilnya, disusul Earl dan Dante dengan pipi bergerak mengeluarkan balon. Tapi arah tujuan mereka berbeda. Earl dan Dante merayap gerbang sekolah belakang, sedangkan Mahar berlari kecil menuju kebun, tempat terindah para siswa. Tersandar dengan posisi satu kaki menempel di tembok, menghembuskan asap seraya pakarnya. Reflek tangan Syukur merampas paksa, batang putih yang ada digenggamannya. Tanpa hirau Mahar pergi menyusul gerakan Earl dan Dante. Tergopoh-gopoh Zea berlari meredam emosi Syukur, alhasil Syukur dapat tenang kembali duduk manis di bangku 12-A.1


 

“ Kenapa gak ikut tambahan seleksi??”
 Syukur dan Zea seakan mengintrogasi Mahar, bukan Earl. Sudah biasa kalau Earl membuat keonaran di sekolah, ruang BK menjadi salah satu persinggahannya. Tapi tidak untuk Mahjar, ini adalah perdananya dai melakukan aksi nekat seperti ini.
            Hanya berbalas senyum yang terlontar dari bibir Mahar. Diinformasikan MAhar termasuk cowok kalem, pendiam, dan sangat menghemat ucapan, sehinnga ia hanya mampu mengajarkan arti senyuman. Sangat bertolak belakang dengan Syukur, selalu saja mengobral kata demi kata. Suasana apapun bias cair dengannya. “Karakter kami memang berbeda”
            “Ze ulas pembahasan statistic dong, gue masih ragu”Sergah Syukur memohon. Diundanya belajar bersama, tapi Mahar? Kali ini ia menolakuntuk bergabung”sebenarnya apa sih yang terjadi? Bukankah cita-cita kami menduduki bangku PTN? Apa mungkin Mahar sudah jenuh belaja? Sepertinya itu bukan Mahar”
            Tepat jam tujuh malam, seperti biasa rumah Zea menjadi tempat persinggahan sahabat-sahabatnya. Earl hanya meraih waktu lima menit bersandar di jajaran bamboo. “pengen nongkrong” tukasnya sok gaul. Tidak dengan Syukur, dia sudah standbye di lantai beralas tikar beberapa buku terbuka. Hamper setengah jam menunggu Zea, yang ntah apa dilakukan dikamarnya. Tak sabar, Syukur mendibrak pintu Zea yang tidak terkunci.
            “Astaga…!!!! Zea…!!” terlihat sahabatnya terbaring dihamparan lantai beralas tikar.
            “Bundaaa…!!!” diangkat tubuh sahabatnya menuju kamar, ditemui bunda sedang mengayak tepung di dapur.
            “Zea pingsan Bunda…!!!” ntah apa yang dipegangnya terlempar begitu saja. Bahkan ayakan tepung, berhamburan mewarnai daun pisang di sekililingnya.
            Diusap kening anaknya, sambil terus memanggil nama “Zea!!”. Syukur hanya berdiri dingin disamping bunda, ntah apa yang harus dilakukan, menatap khawatir kearah rebahan sahabatnya.
            Sepuluh menit sudah, akhirnya Zea siuman, dipanggil nama sahabatnya “Mahar!!” hanya nama Mahar yang terlontar, bukankah seharusnya Syukur? Toh daritadi Syukur yang mengkhawatirkannya. “Kamu sudah sadar nak??” sambung bunda samar. Dengan terus memijit kaki kanan anak semata wayangnya.
            “Masuk angin kali bund!!” serga Syukur yakin, dibalas senyuman Zea mengisyaratkan “Zea baik-baik saja”

Alhamdulillah.’Zea Axela’ sebuah nama yang memiliki arti indah,berhasil mendapatkan kursi untuk melanjutkan studynya di Perguruan Negeri Jakarta.
“Zea Axela           SMA Harapan 1           Kesehatan Masyarakat,begitulah pengumuman yang tertera di layar online.”Tidak masalah ,tidak jadi Dokter ,yang penting masih bisa membantu  tentang kesehatan” ,Tukasnya bangga.
            Ketiga sahabatnya telah memiliki jalan masa depan masing-masing. Earl melanjutkan di London, Syukur juga berhasil menduduki bangku Perguruan Tinggi Negeri dengan jurusan Astronomi, hanya saja dia tidak di Jakarta, melainkan di kota kelahirannya “Yogyakarta”.
Kalau Mahar? Ntah kemana perginya, pertemuan terakhir dengan sahabatnya, setelah hari itu, hari perdananya cabut sekolah. Rumahnya pun sepi, bahkan tetangganya tidak ada yang tau.
“Mahar, kami merindukanmu”


 


            Dua semester sudah mereka jalani dan artinya satu tahun mereka telah terpisah. Hanya sebuah goresan tinta yang menjadi obat rindu mereka. Earl yang kabarnya berhasil meraih posisi 10 besar dan akan melanjutkan seleksi pertukaran mahasiswa di Kanada. Masalah prestasi bias di acungi jempol, tapi tobatlah sedikit, Earl “Hentikan mengoleksi pacar”.
“Selagi muda” balasnya ringan.
            Syukur tidak banyak berubah, gaya dan tingkah lakunya masih kental seperti dulu. Sapaannya renyah dan banyolannya unik masih dapat dirasakan, meski hanya melalui tarian tinta yang melekat di kertas. Minggu lalu, ia mengirimkan foto bersama gadia cantik disampingnya. “Pacarku ayu* toh??” Tukasnya (ayu : sebutan untuk wanita anggun dan cantik dalam bahasa Jawa)
            Kedua sahabanya sangat beruntung sepertinya. Prestasi yang kian membaik, pergaulan semakin luas bahkan jaringan komunikasi terus melesat, sehinnga usaha sampingan mereka lancer terkendali. Ya memang begitulah kehidupan anak kulia, harus mencari dana tambahan.
            “Berbeda denganku” Ratap Zea rintih. Ditatapnya kayu persegi, kira-kira berukuran 50x70cm, tetera gambar lucu bersama 3 sahabatnya. Dengan property alat-alat masak gosong, Jordy pun ikut bergaya. Air mata terus mengalir, sambil memegang kepalanya. Ntah penyakit apa yang sedanghadir di tubuh Zea, sehingga berkali-kali harus terbaring lemah berlapis selimut, daftar hadir di kampusnyasering sekali kosong, prestasinya pun kian menurun. Sungguh disayangkan, seorang gadis cantik berakhlak mulia mendapat nilai D, padahal dulu selalu berprestasi, berbagai olimpiade mampu dilahapnya. Mungkin sudah ratusan kali, bahkan ribuan kali, ayah dan bunda meminta maaf kepada Zea “tidak bisa membiayai ke Rumah Sakit” makan sehari-hari saja sudah bersyukur, apalagi sekarang status beasiswa Zea yang dibawanya sejak SMP telah dicabut, karena nilai-nilainya tidak layak untuk dibanggakan. “Zea berhenti kuliah sajalah” niatnya dalam hati.
                                                                                                
Ya!! Akhirnya niat itu terlaksana “berhenti kuliah” semakin hari tubuh Zea semakin mengerut, sehingga tidak mampu untuk berfikir secara dalam. Biaya untuk kuliah pun jadi beban tambahan ayah dan bunda. “lebih baik Zea bantu ibu jualan, cukup sampai semester 3 saja Zea jalani”
            Setiap minggu, kertas berbungkus amplop terus dating, bahakn Earl pernah mengirim gelang berlapis berlian, yang dibelinya sewaktu ia survei lokasi di Kanada dan Syukur selalu mengirim foto bersama gadis belia itu.
            Bulan semakin bertambah, bahkan sudah terbilang satu tahun Zea tidak pernah membalas surat sahabatnya. Syukur dan Earl bertanya dalam heningnya “Kemana Zea? Apakah ia sibuk dengan tugasnya sampai tak sempat menulis surat?” dalam surat terakhir, Earl berjanji akan terbang menuju Indonesia untuk memastikan apa yang terjadi pada Zea. “Setelah menerima IP ya Zee!!” itulah janjinya.
            Sebulan telah berlalu dan inilah waktu yang dinanti Earl, menginjak bumi tercinta untuk bertemu sahabanya. Hanya dalam hitungan jam, bandara Soekarno-Hatta berhasil di injaknya. Memanggil Taksi yang bersiap menuju kea rah rumah Zea. Dua jam perjalanan dan akhirnya sampai juga melihat sekeliling masih seperti dulu, gubuk sederhana nyris reot masih bertahan melindungi keluarga yang mempunyai satu harapan bangsa.


 


“Assalamualaikum..bunda, Jordy!!” seperti biasa yang dicari hanya bunda dan Jordy, padahal tujuan utamanya bertemu Zea?”
“Tanpa ada perintah “masuk” Earlpun sudah menginjak batas ruang tamu, sewaktu meniatkan langkah ke kandang Jordy, pusaran arah memutar 90°. Tampaklah gadis terbaring lemah di jajaran bamboo beralas tikar. “Zeaa??” Tatap Earl lemas. Sudah tidak bias dikategorikan cantik lagi, karena saat ini, badan yang dulu elok semampai, sekarang hanyalah tulang yang terbungkus kulit. Mahkota indanya kian gugur, bahkan sudah tidak dikenalinya.
“Zeaa!!” panggil Earl tidak yakin “Lo bukan Zea kan? Zea mana?” Tatap Earl menatap hanya sebuah gelang yang melingkar sedikit memberikan keyakinan untuk Earl. Tatapan Zea kosong, tidak mengenali, langkah Earl semakin dekat dan wanita paruh baya dating menghampirinya.
            “Itu Zea nak!!” suara bunda meyakinkan. Earl mengartikan pasrah. Sepertinya air mata bunda telah habis terbuang, bunda terlihat tegar dalam menceritakan semua yang terjadi. Terlebih penyakit Zea, bunda hanya mampu membawanya ke tabib, tak jauh dari rumahnya.
“Gak mungkin!! Ini bukan kena roh halus bund!! Ini penyakit serius!!” Tegas Earl “sekarang ke dokter”
“jangan nak!!” tolah bunda merintih “bunda tidak punyaa…!!” terpotong kalimat bunda yang tersambung Earl paksa. Diangkat tubuh sahabatnya menuju mobil taksi yang telah dipesan beberapa menit lalu. Zea hanya bias menatap kosong dan sesekali menyebut nama Mahar.
Tanpa berfikir panjang, moboil melaju kencang dan Earl mengambil seluler genggam dari kantong celananya, dengan cepat ia memesan tiket expres arah Yogya menuju Jakarta dikirim ke alamat Syukur dengan memo “cepat kerumah Zea!!”


                                                                                                                          
                                                                                                              
Dokter hanya menggeleng pasrah, tersenyum ikhlas untuk bunda. “Hasil rontgen saya serahkan besok!!” dokter sudan menolah rawat inap untuk Zea. Earl dapat mengartikan maksud yang tersirat dari mata dokter. Hanya saja tak sanggup menyampaikannya ke bunda.
“Kita pulang ya bund!!” ajak Earl tenang. Bunda hanya mengangguk bingung. “Zea sakit apa nak?” wajah Earl melontar kaku, hanya mampu menjawab “Serahkan semua pada Tuhan ya bund!!”
Lima jam penantian, akhirnya Syukur datang melihat langsung apa yang terjadi. Lemas tak dapat menatapnya, bahkan ia tidak yakin, bahwa itu “Zea!!” sahabatnya yang selalu menjadi penyemangat hidup.
“Mahar!!” ucap Zea lemah, sangat lemah. Dengan jurus andalannya “uang”. Earl memerintahkan 50 orang untuk mencari Mahar. “Berapapun yang kalian minta, akan saya turuti. Asal ketemu dalam waktu singkat” perintahnya sombong.
“Ternyata dalam waktu 3 jam, tanpa jasa pesuruh Mahar hadir di sela-sela penantian. “Kemana aja lo??” Emosi Syukur tak terkendali, menyisakan memar di pipi Mahar. Ditemukannya diary Zea, ditumpukan surat yang tidak sempat terbaca :
**Ayah-Bunda, makasih perjuangannya hanya untuk Zea, yang akhirnya Zea hanya merepotkan kalian. Zea sudah gak kuat bund, dengan kanker otak yang hadir sekarang. 3 semester ini, Zea sempat belajar tentang kanker dan maaf semua ini Zea rahasiakan, takut ayah-bunda sedih dan hanya menambah beban. Bundaa.. kelak Zea pergi suatu saat nanti, tolong sampein ke Earl, Syukur, Mahar. Bahwa Zea sayang sama mereka. Terlebih Mahar, makasih selalu ngajarinZea apa arti senyuman. Jagain Jordy ya bund, bilang juga kalau Zea ga akan ngelupain Jordi**
Menekukkan dua kaki Mahar disisi Zea, mengecup kening manis sahabatnya. “Maafin aku Zeaa!!”
Keempat tangan berkumpul di titian perut Zea. Air mata tak sanggup lagi untuk dibendung, tak ada tawa canda, celaan yang dirindukan.
Hening, suasana sunyi. Terlihat Zea mengambil nafas panjang. “Aku ikhlas, Bunda!!” yang kemudian menutup matanya dengan damai.

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar