Senin, 10 Juni 2013

HARAPAN YANG SIRNA



HARAPAN YANG SIRNA
by : anisa maryati
10210874

”Edgar,Ruffan mana?” sekertaris kelas yang mungil dengan gaya rambut layernya telah mampu membuat pensil Edgar melontar entah kemana. Sudah seminggu ini, seisi kelas gempar dengan kepergian misterius Ruffan, kesiswaan dan guru BK setiap hari memanggil Vania, selaku sekertaris kelas.
“Edggarrrrrrrrr…..”hentakan Vania kembali memecah, membuat pria berkacamata menyodorkan kotak kecil bermata biru. ”Apa ini?” kerutan keningnya mulai terbentuk, dengan gaya cool yang sibuk dari tadi mengatur posisi kacamatanya melontarkan satu kata ”Baca” Vania mulai membuka…

Lembar pertama….

Ayahh.. Ruffan gak akan pernah lupa sama harapan Ayah dan Bunda.Ruffan yakin, di balik sifat keras ayah menyimpan sayang untuk Ruffan. Ruffan akan berusaha apapun kehendak ayah tapi, gak saat ini.
Senin 031007  

Lembar kedua…

            Bunda, tolong sadari ayah dari sifat kerasnya, bilang sama ayah permata biru ini, akan Ruffan jaga walaupun ayah gak pernah suka sama Ruffan.
Selasa 041007


“Neng!!!” Neva merebahkan telapak tangannya di pundak kiri gadis berambut layer.
            “Lo baca apa?” Neva menatap kaku wajah Vania,yang dari tadi memasang tampang aneh, ibarat orang kesasar yang bingung mencari jalan.
            “Ruffan!!”
            “Kemana Ruffan?”
            “Gue yakin dia lagi ada masalah” suara nyaring menjawab dari kejauhan, siapa lagi kalau bukan Edgar, chairmate Ruffan.
            “Kita harus nyari Nev!”
                     
                                                             0-----0-----0-----0
           
            Pagi ini sangat cerah, matahari menyapa ramah, kupu-kupu kecil membangkitkan semangat untuk memulai hari baru. Hari ini, seluruh siswa kelas 11 IPA akan study tour ke Boscha Bandung.Oh tidak. Kali ini kupu-kupu kecil tidak bisa membangkitkan semangat, Ruffan sesosok pria berbudi menghilangkan hari indahnya.
            Kekerabatan mereka pupus satu, sejauh ini Tuhan belum menunjukan jalan keberadaan Ruffan. Bunda manis, panggilan hangat ibunda Ruffan, yang kian hari kondisinya semakin melemah, memikirkan apa yang sudah terjadi.
            Sepanjang perjalanan suasana hening, Pedra yang pandai ngebanyol berubah kaku. Menghilangnya Ruffan telah membuat semua hening, tak lain Ibu Azaria sosok wanita lembut, dengan kain ala Arabian menutupi rambutnya, yang setiap saat menanyakan informasi tentang anak muridnya “Anugrah Ruffanizam Mulia” besok genap 3 bulan menghilang.
            “Kemana sih Ruffan?” Vania menyenderkan kepalanya di dataran jendela bus, sambil mulai merengut bayang hampa, memaksa mata menatap kotak bermata biru.
            “Itu Ruffan” suara Neva memberhentikan bus, membuat Ibu Azaria menghampiri pria yang terpojok di sudut kota “Ruffan”, pria itu membalik perlahan saling menatap kaku, tatapan mata terbelalak tajam merubah arti seakan syahdu. Berbinar pudar menatap obyek yang terlihat.

“Saya bukan Ruffan”berlari menutup wajahnya kilat.
“Ruffan berhenti,kita gak mau kehilangan kamu”Edgar sang chairmate dan rombongan lainnya ikut mengejar cepat.Tapi Tuhan berkata lain,beradius 2 KM,Edgar harus merelakan kaki kirinya,bus dari lawan arah menghantam tubuh Edgar,alhasil terpental jauh.
Mungkin ini salah Edgar,menyebrang tanpa perhitungan,demi menghampiri sahabatnya.Study tour dibatalkan,Edgar hanya terbaring lemah berbalut perban dengan layer kecil mendeteksi hidupnya.Tatapan mata Edgar kosong,nafasnya berirama mengikuti alat bantu.        

                                                      0-----0-----0-----0

“Maafkan Ruffan nak!” Antrian air mata bunda manis memaksa keluar.
“Gak papa Bun! Ini sudah perintahNYA” Edgar menjawab lemas.
Pagi ini adalah hari pertama Edgar berjalan dengan kaki barunya, setelah 10 hari mengkosongkan tatapannya,merangkai keikhlasan untuk beradaptasi menyesuaikan langkah.
“Kamu di mana sih nak ? Kamu telah merepotkan banyak orang” mata Bunda Manis makin menyempit,yang setiap hari hanya menumpahkan sederetan air mata. Membuat tangan kanan Neva yang berbalut bulat berdenting mendarat kearah lipatan mata Bunda manis. Beberapa pasang mata menatap kotak kecil kira-kira berukuran 30Х50cm dengan gambar genik,yang telah lama menghilang.

                                                  0-----0-----0-----0

Dentingan waktu mengantarkan 5 bulan kepergian Ruffan. Bunda manis hanya meratapi kotak kecil dengan permata birunya. Ayah dan Bunda Ruffan menaruh ribuan harapan pada anaknya,di bekali dengan didikan positif dan permata biru yang kini menempel di buku harian Ruffan. Mungkin aneh, sesosok cowok yang seharusnya tegar dan bersikap acuh malah memiliki buku harian yang terkesan “Lenje”. Tapi permata biru itu,begitu berarti untuk Ruffan,permata biru memiliki makna yang indah karena Tuhan telah menitipkan Anugrahnya yaitu Ruffan.

Rabu, 200308.  .  .

Sore itu, puluhan pasang mata yang sedang berkumpul menatap tegang kearah ambang pintu rumah Ruffan. Ditatapnya berkali-kali pria berbudi dengan membawa map dan medali emasnya. Terengah Bunda manis berdiri dan tangan kanannya mendarat kasar menuju dataran pipi Ruffan.
”Untuk apa kamu kembali?” mencuap emosi bunda terlontar. Ruffan telah kembali,tapi sambutan kaku menyapanya.
“Lihat Ayah kamu disana nak,terbujur kaku mengarah kiblat”. Entah apa yang bisa Ruffan lakukan, halilintar menyapa hatinya,darah yang mengalir deras, sekejap terhenti, hanya tinggal bayang kaku menyambut dirinya, melangkah perlahan menghampiri sosok manusia tak berdaya, isak tangis hadir menemani.
“Kenapa Ayah pergi? Lihat apa yang Ruffan bawa Ayah!! Sertifikat kejuaraan dan medali impian Ayah Ruffan berhasil merebutnya”. Tetapi semua itu sirna, Ayah Ruffan tidak mampu melihat keberhasilan anaknya. Ruffan sengaja menghilang untuk merebut kedudukan selama ini Ayah impikan.   
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar